Bab
5
Hukum Perjanjian
I. Hukum Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
II. Asas-asas
Dalam Hukum Perjanjian
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat
mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang,
maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan
Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa
pun;
c. Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjiannya
apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta
sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas
pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt
yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
5. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
III. Syarat
Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
a) Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu
harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut,
tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
b) Kecakapan, yaitu bahwa para pihak
yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak
dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa
setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
· Orang
yang belum dewasa.
· Mereka
yang berada di bawah pengampuan.
· Orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
· Semua
orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah
bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sumber :
0 komentar :
Posting Komentar